Tahap - Tahap Perjanjian Internasional
Download Materi Pkn Lengkap kelas XI Semester 2
1. Pengertian Perjanjian
Internasional
Secara umum perjanjian internasional
dapat diartikan sebagai suatu persetujuan yang dinyatakan secara formal antara
dua atau lebih negara mengenai penetapan, penentuan, atau syarat timbal balik
tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Dalam perjanjian internasional,
pihak-pihak dinyatakan secara sukarela dan didasarkan pada persamaan kedudukan,
serta kepentingan bersama, baik di masa damai maupun perang. Pada umumnya
perjanjian ditaati oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian karena adanya
adagium “Pacta Sunt Servanda” (persetujuan antarnegara harus ditaati.
Pengertian perjanjian internasional
juga dikemukakan oleh beberapa tokoh atau ahli, antara lain:
a. Oppenheimer
- Lauterpacht
Perjanjian internasional adalah
suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
b. G. Schwarzenberger
Perjanian internasional sebagai
suatu persetujuan antara obyek-obyek hukum internasional yang menimbulkan
kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional, dapat berbentuk
bilateral maupun multilateral. Subyek-subyek hukum dalam hal ini selain
lembaga-lembaga internasional juga negara-negara.
a. Prof.
Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH. LL.M.
Perjanjian internasional adalah
perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan
untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, yang
termasuk perjanjian internasional antara lain:
1) Perjanjian
anta Negara-negara;
2) Perjanjian
antara Negara dengan organisasi internasional, misalnya antara Negara Amerika
dengan PBB mengenai status hukum tempat kedudukan tetap PBB di New York;
3) Perjanjian
aantara organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya;
b. Konferensi
Wina 1969
Perjanjian internasional adalah
perjanjian yang dilakukan oleh dua negara atau lebih, yang bertujuan untuk
mengadakan akibat-akibat hukum tertentu. Tegasnya perjanjian internasional
mengatur perjanjian antar negara saja selaku subyek hukum internasional
c. Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000
Perjanjian internasional yaitu
perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional
yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum
publik.
2. Penggolongan Perjanjian Internasional
a. Penggolongan Menurut Subyeknya
1) Perjanjian
antarnegara, misalnya antara negara Indonesia dengan negara Malaysia
2) Perjanjian
antarnegara dengan subyek hukum internasional lainnya, misalnya antara negara
Indonesia dengan ASEAN
3) Perjanjian
antara sesame subyek hukum internasional lain selain negara, misalnya antara
ASEAN dengan MEE
b. Penggolongan Menurut Isinya
Perjanjian internasional dapat
mencakup berbagai bidang sebagai berikut.
1) Politis, misalnya pakta pertahanan,
pakta perdamaian;
2) Ekonomi,
misalnya bantuan ekonomi, bantuan keuangan dan perjanjian perdagangan
3) Hukum,
misalnya perjanjian ekstradisi;
4) Batas
wilayah, misalnya batas ZEE, landas kontinen;
5) Kesehata,
misalnya karantina dan Sars
c. Penggolongan Menurut Fungsinya
1) Perjanjian
yang membentuk hukum (law making treaties) yaitu suatu perjanjian yang
meletakkan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara
keseluruhan. Perjanjian ini bersifat multilateral dan terbuka bagi pihak
ketiga.
Contoh: Konvensi Wina Tahun 1958
tentang hubungan diplomatik
2) Perjanjian
yang bersifat khusus (treaty contract), yaitu perjanjian yang
menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihk-pihak yang mengadakan perjanjian saja.
Biasanya bersifat bilateral.
Contoh: Perjanjian republik
Indonesia dengan RRC mengenai dwikewarganegaraan
d. Penggolongan Menurut Jumlah Pihak Pihak yang Mengadakan
Perjanjian
1) Perjanjian
Bilateral, yaitu perjanjian yang dilakukan oleh dua negara
2) Perjanjian
Multilateral, yaitu perjanjian yang dilakukan oleh lebih dua negara/ banyak
negara.
e. Penggolongan Menurut Bentuknya
1) Perjanjian
antar kepala negara (head of state form)
2) Perjanjian
antar pemerintah (intergovernmental form)
3) Perjanjian
antar menteri (interdepartemental form)
f. Penggolongan Menurut Proses/ Tahapan Pembentukannya
1) Perjanjian
yang bersifat penting yang dibuat melalui tiga tahap,yaitu proses perundingan,
penandatanganan. dan ratifikasi.
2) Perjanjian
yang bersifat sederhana yang dibuat melalui dua tahap, yaitu perundingan dan
penandatanganan.Biasanya digunakan kata persetujuan atau agreement.
3. Tahap-tahap (Proses) Pembuatan Perjanjian Internasional
Proses pembuatan perjanjian
internasional biasanya diatur oleh konstitusi/ undang-undang dasar atau hukum
kebiasaan masing-masing negara. Oleh karena itu dengan sendirinya tidak ada
keseragaman antara negara yang satu dengan negara yang lainnya. Berdasarkan
praktek dari berbagai negara terdapat dua macam proses pembuatan perjanjian
internasional, yaitu
a. Proses
yang melaui dua tahap
1) Perundingan
(negotiation)
2) Penandatanganan
(signature)
b. Proses
yang melalui tiga tahap
1) Perundingan
(negotiation)
2) Penandatanganan
(signature)
3) Pengesahan
(ratification)
Berdasarkan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 pasal 6, pembuatan perjanjian internasional
dilaksanakan melalui tahap-tahap :
a. Penjajakan
b. Perundingan
c. Perumusan
naskah
d. Penerimaan
e. Penandatanganan
Dalam Konvensi Wina tahun 1969,
tentang Hukum Perjanjian Internasional disebutkan bahwa dalam pembuatan
perjanjian internasional baik bilateral maupun multilateral dapat dilakukan
melakukan tahap-tahap:
a. Perundingan
(negotiation)
Perundingan merupakan tahap awal
proses pembuatan perjanjian internasional, yang dimaksudkan untuk mencapai
suatu kesepakatan antara pihak-pihak melalui wakil-wakilnya yang ditunjuk untuk
m,engadakan perundingan.
Menurut tatacara yang berlaku yang
dapat mewakili perundingan adalah kepala negara, menteri luar negeri atau wakil
diplomatiknya. Dapat juga diwakili orang lain yang mendapat surat kuasa penuh (full
power). Perundingan ini dapat dilakukan dalam acara resmi maupun tidak
resmi. Cara ini sering disebut dengan istilah “corridor talk” atau “lobbying”
misalnya secara informal di waktu-waktu istirahat saling bertukar pikiran,
saling mempengaruhi dan lain-lain.
b. Penandatanganan
(Signature)
Bagi traktat yang harus
diratifikasi( melalui tiga tahap), penandatanganan hanya memberikan arti bahwa
utusan-utusan telah menyetujui teks dan bersedia menerima, serta akan
meneruskannya kepada pemerintah yang berhak menolak atau menerima traktat itu.
Sehingga dapat dikatakan bahwa penandatanganan ini masih bersifat sementara dan
masih harus disahkan oleh badan yang berwenang di negaranya.
Namun bagi perjanjian yang melalui
dua tahap, setelah penandatanganan dilakukan, perjanjian itu telah berlaku
sehingga memiliki kekuatan mengikat bagi negara-negara yang mengadakan
perjanjian.
Untuk perjanjian yang bersifat
multilateral, penandatangan teks perjanjian sudah dianggap sah jika 2/3 suara
peserta yang hadir memberikan suara, kecuali ditentukan lain.
c. Pengesahan
(ratification)
Perkataan ratifikasi berasal dari
bahasa latin ratificare (pengesahan), sedangkan dalam bahasa Inggris
sama dengan confirmation ( penegasan /pengesahan). Berdasarkan Konvensi Wina
tahun 1969 ratifikasi adakah perbuatan negara yang dalam taraf internasional
menetapkan persetujuannya untuk terikat pada suatu perjanjian internasional
yang sudah ditandatangani perutusannya. Pelaksanaannya tergantung pada hukum
nasional negara yang bersangkutan. Undang-Undang No 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian internasional membedakan pengertian antara ratifikasi dan pengesahan.
Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian
internasional dalam bentuk ratifikasi(ratification), aksesi(accession),
penerimaan(acceptance), dan penyetujuan(approval). Jadi menurut
UU ini, ratifikasi merupakan bagian dari pengesahan. Pemerintah Indonesia akan
mengesahkan suatu perjanjian internasional sepanjang dipersyaratkan oleh
perjanjian internasional tersebut. Ratifikasi mempunyai dua arti pokok, yaitu:
1) Persetujuan
secara formal terhadap perjanjian yang melahirkan kewajiban-kewajiban
internasional setelah ditandatangani.
2) Persetujuan
terhadap rencana perjanjian itu agar supaya menjadi suatu perjanjian yang
berlaku bagi masing-masing negara peserta.
Tujuan ratifikasi adalah memberikan
kesempatan kepada negara-negara guna mengadakan peninjauan serta pengamatan
yang seksama apakah negaranya dapat diikat oleh perjanjian tersebut.
Adapun dasar pembenaran adanya ratifikasi
antara lain:
1) Bahwa
negara berhak meninjau kembali hasil perundingan perutusannya sebelum menerima
kewajiban yang ditetapkan dalam perjanjian internasional yang bersangkutan.
2) Negara
tersebut mungkin memerlukan penyesuaian hukum nasionalnya terhadap
ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan.
Namun demikian hukum internasional
tidak mewajibkan negara yang perutusannya telah menandatangani hasil
perundingan, baik menurut hukum maupun moral untuk meratifikasi perjanjian
tersebut. Tidak adanya kewajiban tersebut karena setiap negara adalah
berdaulat.
Dalam pelaksanaannya, ratifikasi
perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi 3 sistem, yaitu;
1) Sistem ratifikasi yang
semata-mata dilakukan oleh badan eksekutif. Sistem ini biasa dilakukan oleh raja-raja
absolute dan pemerintahan otoriter.
2) Sistem ratifikasi yang
semata-mata dilakukan oleh badan legislative. Cara ini jarang digunakan.
3) Sistem campuran yang dilakukan
oleh badan eksekutif dan legislative (Pemerintah dan DPR). Sistem ini paling banyak
digunakan karena peranan legislative dan eksekutif sama-sama menentukan dalam
proses ratifikasi suatu perjanjian internasional.
Dalam Konvensi Wina tahun 1969,
pasal 24 disebutkan bahwa berlakunya sebuah perjanjian internasional adalah
sebagai berikut:
1) Pada saat
sesuai dengan yang ditentukan dalam naskah perjanjian tersebut.
2) Pada saat
peserta perjanjian mengikat diri dengan perjanjian tersebut bila dalam naskah
tidak disebutkan saat berlakunya. Persetujuan untuk mengikat diri dapat
dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada persetujuan mereka. Misalnya
dengan penandatanganan, ratifikasi, pernyataan turut serta (accession)
ataupun pernyataan menerima(acceptance) dan dapat juga dengan pertukaran
naskah yang telah ditandatangani.
Di Indonesia, pelaksanaan ratifikasi
didasarkan pada landasan yuridis konstitusional UUD 1945 pasal 11 yang berbunyi
sebagai berikut:
1) Presiden dengan persetujuan DPR
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain
2) Presiden dalam membuat perjanjian
internasional lainya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan kebutuhan keuangan negara dan mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR.
3) Ketentuan lebih lanjut tentang
perjanjian internasional diatur dengan Undang-undang.
Lebih lanjut disebutkan dalam pasal
10 UU No 24 Tahun 2000, pengesahan perjanjian dilakukan dengan undang-undang
apabila berkenaan dengan:
1) Masalah
politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan.
2) Perubahan
batas wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia
3) Kedaulatan
atau hak berdaulat negara.
4) Pembentukan
kaidah hukum baru, atau
5) Pinjaman
dan atau hibah luar negeri.
Pengesahan perjanjian internasional
yang materinya tidak termasuk seperti dimaksud dalam pasal 10 UU No 24 Tahun
2000 dilakukan dengan keputusan presiden.
Berikut ini beberapa contoh yang
dapat dikemukakan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
1) Persetujuan
Indonesia dengan Belanda mengenai penyerahan Irian Barat (sekarang Irian Jaya).
Karena pentingnya materi yang diatur dalam agreement tersebut maka
dianggap sama dengan treaty. Sebagai konsekuensinya, presiden memerlukan
persetujuan DPR dalam bentuk pernyataan pendapat.
2) Persetujuan
Indonesia dengan Australia mengenai garis batas wilayah antara Indonesia dengan
Papua New Guinea yang ditandatangani di Jakarta 12 Februari 1973 dalam bentuk agreement.
Namun karena pentingnya materi yang diatur dalam agreement tersebut maka
pemgesahannya memerlukan persetujuan DPR dan dituangkan dalam bentuk
undang-undang
3) Persetujua
garis batas landas kontinen antara Indonesia dengan Singapura tentang selat
Singapura, 25 Mei 1973. Sebenarnya materi persetujuan ini cukup penting, namun
dalam pengesahannya tidak meminta persetujuan DPR melainkan dituangkan dalam
bentuk keputusan presiden.
4. Berlakunya Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional mulai
berlaku pada saat peristiwa berikut :
a. Mulai
berlaku sejak tanggal yang ditentukan atau menurut yang disetujui oleh
negara-negara perunding.
b. Jika tidak
ada ketentuan atau persetujuan, perjanjian mulai berlaku segera setelah
perjanjian diikat dan dinyatakan oleh semua negara perunding.
c. Bila
persetujuan suatu negara untuk diikat oleh perjanjian timbul setelah perjanjian
itu berlaku, maka perjanjian mulai berlaku bagi negara itu pada tanggal
tersebut, kecuali bila perjanjian menentukan lain.
d. Ketentuan-ketentuan
yang mengatur pengesahan teks, pernyataan persetujuan,suatu negara untuk diikat
oleh suatu perjanjian, cara dan tanggal berlakunya, persyaratan, fungsi-fungsi
penyimpanan, dan masalah-masalah lain yang timbul sebelum berlakunya perjanjian
itu, berlaku sejak saat disetujuinya teks perjanjian itu.
Menurut pasal 3 Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2000, Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian
internasional melalui cara-cara sebagai berikut :
a. Penandatanganan;
b. Pengesahan;
c. Pertukaran
dokumen perjanjian/nota diplomatik;
d. Cara-cara
lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.
5. Pembatalan Perjanjian Internasional
Berdasrkan Konvensi Wina 1969 karena
berbagai alasan suatu perjanjian dapat batal, antara lain :
a. Negara
peserta atau wakil kuasa penuh melanggar ketentuan hukum nasionalnya
b. Adanya unsur
kesalahan (error) pada saat perjanjian itu dibuat.
c. Adanya
unsur penipuan dari negara peserta tertentu terhadap negara peserta lain pada
waktu pembentukan perjanjian.
d. Adanya
unsur penyalahgunaan/kecurangan(corruption) melalui kelicikan atau penyuapan.
e. Adanya
unsur paksaan terhadap wakil suatu negara peserta.
f. Bertentangan
dengan suatu kaidah dasar hukum internasional umum.
6. Berakhirnya Perjanjian Internasional
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH
dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional mengatakan bahwa suatu
perjanjian berakhir apabila:
a. Telah
tercapainya tujuan perjanjian.
b. Masa
berlakunya perjanjian internasional sudah habis.
c. Salah satu
pihak peserta perjanjian internasional menghilang, atau punahnya obyek
perjanjian internasional.
d. Adanya
persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian.
e. Adanya
perjanjian baru antara peserta yang kemudian meniadakan perjanjian yang
terdahulu
f. Syarat-syarat
tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian sudah
terpenuhi.
g. Perjanjian
secara sepihak diakhiri oleh salah satu peserta dan pengakhiran itu diterima
pihak lain.
Berdasarkan pasal 18 UU No 24 Tahun
2000, perjanjian internasional berakhir apabila:
a. Terdapat
kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
b. Tujuan
perjanjian tersebut telah selesai
c. Terdapat
perubahan yang mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;
d. Salah satu
pihak tidak melaksanakan atau melanggar perjanjian internasional;
e. Dibuat
suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
f. Muncul
norma-norma baru dalam hukum internasional;
g. Obyek
perjanjian hilang;
h. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
Note : Untuk Download jika terbuka AdFly silahkan klik SkipAd untuk melanjutkan.
Terimakasih sudah berkunjung.
Terimakasih sudah berkunjung.
EmoticonEmoticon